nusakini.com--Menteri Ketenagakerjaan M. Hanif Dhakiri menegaskan komitmen pemerintah untuk meningkatkan perlindungan tenaga kerja termasuk di sektor perikanan laut. Perlindungan bagi pelaut perikanan/nelayan harus terwujud dan terjamin, dan Kemnaker siap mendukung proses tersebut terutama di sisi penguatan regulasi internasional maupun dalam negeri.  

Dalam meningkatkan perlindungan tersebut, pemerintah mempertimbangkan untuk meratifikasi Konvensi ILO No.188/2007 tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan. Menurut Menaker, penguatan regulasi terkait ketenagakerjaan di sektor terkait berdampak positif terhadap kondisi tenaga kerja.  

“Saya percaya masa depan industri akan menjadi lebih baik, lebih kompetitif, dan terutama kesejahteraan pekerja menjadi lebih baik,”ujar Menaker dalam sambutannya di acara International Conference on Human Rights Protection in The Fishing Industry di kantor Kementerian Kelautan dan Perikanan, Senin (27/3).  

Selain itu, penguatan instrumen regulasi dalam negeri juga dilakukan. Kementerian Ketenagakerjaan bersama-sama dengan Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Kelautan dan Perikanan akan melakukan harmonisasi regulasi.

Hal tersebut dilakukan guna memperjelas tugas dan fungsi masing-masing kementerian. “Sehingga nanti beda siapa yang akan mengurusi kapal dan siapa yang mengurusi tenaga kerja. Urusan ketenagakerjaan akan diregulasi melalui Kemnaker,” papar Menaker.  

Menaker mengatakan tantangan yang dihadapi di industri perikanan dan keluatan yaitu masih ditemukannya praktek ketenagakerjaan yang belum sesuai dengan regulasi juga norma Hak Asasi Manusia.

Hal itu, katanya lagi, disebabkan oleh masih informalnya status pekerja Anak Buah Kapal (ABK). Ia mencontohkan, selama ini ABK tidak memiliki status hubungan kerja yang jelas atau informal dan tidak adanya kontrak kerja dengan perjanjian yang jelas.

Permasalahan lainnya yaitu ABK yang tidak memiliki dokumen resmi dan penempatan wilayah kerja yang tidak jelas. Masalah lain juga terjadi di sisi rekrutmen, pelatihan, sertifikasi, serta kebebasan berserikat.  

“Ada ABK asal Tegal direkrut kapal berbendera Korea tapi dibawa melaut ke Rusia. Ada juga yang ketika bersandar tidak bisa turun ke darat karena mereka undocumented. Oleh karenanya, kita perlu pastikan untuk menformalkan pekerjaan ini. Dengan begitu perlindungan tenaga kerja akan jelas, kontribusi ke negara meningkat, dan industri akan menjadi lebih kompetitif,” jelas Menaker. 

Ditemui di tempat yang sama, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengatakan pemerintah tidak akan membiarkan industri mendapatkan keuntungan yang besar dengan melakukan perbudakan di waktu yang sama.

Tenaga kerja harus mendapatkan perlakuan yang pantas. Untuk meningkatkan perlindungan, KKP telah menerbitkan peraturan yang mewajibkan kapal-kapal perikanan, baik kapal tangkap maupun kapaI angkut, yang beroperasi di Indonesia untuk mematuhi standar hak asasi manusia berdasarkan Prinsip Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Bisnis dan Hak Asasi Manusia (Guiding Principles) sebagai prasyarat mendapatkan izin tangkap/angkut Ikan.  

“Kita tidak bisa membiarkan hal itu terus terjadi. Saya menginginkan semua tenaga kerja di industri kelautan dan perikanan harus terlindungi,” katanya.  

Untuk diketahui, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) meIakukan analisa dan evaluasi (AnEv) pada kapal ikan yang pembuatannya dilakukan di luar negeri.

Kegiatan AnEv menemukan banyak peIanggaran HAM serius di industri perikanan termasuk perdagangan manusia, penyelundupan manusia, kerja paksa, eksploitasi anak, penyiksaan, diskriminasi upah dan pembayaran di bawah tingkat minimum, dan bekerja tanpa perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja.

Ditemukan setidaknya 168 dari 1.132 kapaI ikan yang pembangunannya diIakukan di luar negeri (14,8 persen) melakukan tindak pidana perdagangan manusia dan kerja paksa. (p/ab)